Menjelajahi Sumatera dengan Bantuan Google Earth sampai Ketemu Lapangan Terbang Milik Sukanto Tanoto

 Menjelajahi Sumatera dengan Bantuan Google Earth sampai Ketemu Lapangan Terbang Milik Sukanto Tanoto

 

Hipotesis yang saya pegang ialah bahwa pangkal wilayah pengaruh pusat Indonesia kuno berada di Pantai Barat Sumatera, baru kemudian seiring meredupnya peranan pantai Barat dan meningkatnya peranan pantai timur dan selat Malaka, maka pusat Indonesia kuno bergeser ke wilayah tersebut pantai timur Sumatera. Wilayah pantai Barat sumatera, kini menjadi bagian dari 3 provinsi, sumatera Barat, Sumatera Utara dan Acheh, dahulu kala merupakan destinasi dan terminal jalur pelayaran yang ramai menghubungkan India, Iran, Yaman, Mesir dan Afrika hingga Mediterania.

Komoditi utama yang diperdagangkan bukan saja hasil-hasil alam yang eksotik dan langka dari pulau sumatera seperti kamper (Barus), kemenyan, damar, lada, cengkeh, kayu-kayu berkualitas tinggi, tapi yang paling penting dari semua komoditi perdagangan itu, emas dan perak. Emas dan perak ini di masa kuno, melimpah di batang-batang sungai dan hulu-hulunya yang mengalir dari Bukit Barisan di pedalaman pulau sumatera.
Barus di Tapian Nauli Tengah misalnya, terkenal sebagai pelabuhan kuno internasional yang ramai dengan kapal-kapal Persia, India, Arab hingga China dan tentu saja kapal dari Jawa dan Sriwijaya sendiri sebagai penguasa wilayah tersebut. Tapi di manakah berada Sriwijaya atau kerajaan kuno penguasa pulau Swarnadwipa tersebut?

Barus merupakan di antara pelabuhan internasional milik Sriwijaya. Kekuasaan seperti Sriwijaya tidak akan dapat berkembang besar dan berwibawa jika tidak ditunjang oleh komoditas besar, dalam hal ini emas dan perak. Ada yang berpendapat, bukan Sriwijaya yang memiliki Barus, tapi Kerajaan Melayu kuno. Melayu kuno ini adalah Minangkabau saat ini. Namun, Sriwijaya dan Melayu kuno, sebenarnya itu itu juga, seperti Indonesia dengan Jawa. Jawa ya komponen Indonesia. Demikian juga, Minangkabau salah satu komponen dari Sriwijaya.

Ketika mencoba mencari letak-letak peninggalan purbakala dari masa lalu tersebut, seperti komplek Candi Portibi di Padang Lawas Sumatera Utara, Muara Takus di pedalaman perbatasan Riau dan Sumatera Barat, saya mendapat kesan, bahwa pemilihan lokasi pemukiman dan percandian tersebut benar-benar cermat dari segi pertimbangan keamanan dari serangan luar. Baik Portibi maupun Muara Takus, lokasinya sangat jauh dari pantai, berada di pedalaman, tapi bisa dijangkau dengan sungai-sungai yang berkelok-kelok dan bercabang-cabang. Sangat terlihat adanya pertimbangan keamanan dari serangan luar tapi secara ekosistem sangat menunjang.

Tampaknya, dahulu kala baik Portibi maupun Muara Takus merupakan tempat bersemayamnya penguasa dan sekaligus mengontrol secara dekat sumber-sumber emas yang terdapat di sungai-sungai yang bersempadam dengan bukit barisan tersebut. Kemudian diperkirakan, emas-emas dan hasil-hasil alam seperti gaharu, kapur barus, kemenyan, dan sebagainya diangkut melalui beberapa saat menempuh jalan darat lalu kemudian dibawa melalui sungai, baik sungai yang bermuara ke pantai Barat seperti Batang Gadis di Sumatra Utara, atau pun sungai rokan dan kampar yang bermuara ke pantai timur yang langsung terhubung dengan selat Malaka, dimana di sana terdapat China, Funan, Khmer dan sebagainya.

Selagi saya asik mengamati lokasi-lokasi tersebut melalui google earth, saya menemukan bandara privat milik perusahaan Sukanto Tanoto, RAPP. Perusahaan penebangan dan pengolahan kayu di Riau ini sungguh sangat kaya dan berkuasa. Ekspos kekayaan perusahaan ini terasa sangat tertutup. Kita tidak tahu berapa pajak yang dihasilkan oleh perusahaan ini dan mengalir kemana saja. Demikianlah, google earth memang membuka wujud dan aktivitas siapa sjaa yang terekam oleh aplikasi tersebut melalui sudut pandang dari langit.

Misalnya, selagi saya mengamati DAS Batang Gadis dan Batang Toru di melalui google earth, tampak hutan-hutan yang gundul oleh aktivitas Shinohydro yang beroperasi di sana. Kita tidak tahu, apakah mereka sambil menambang emas atau memang membangun PLTA. Sebab, PLTA kerap menjamah lokasi-lokasi yang diperkirakan memiliki bahan tambang berharga. Termasuk di sekitar Muara Takus.

Dari penjelajahan google earth, terasa betapa kayanya pulau Sumatera, tapi hanya dinikmati oleh segelintir orang dengan okulasi perkebunan sawit, tambang, dan seterusnya.

 

 

Facebook Comments Box