Problem Angkatan Muda, Demokratisasi Ekonomi dan Administrasi Prabowo

 Problem Angkatan Muda, Demokratisasi Ekonomi dan Administrasi Prabowo

Problem angkatan muda di Indonesia, dan umumnya di setiap negara sesudah era kolonial dan memasuki abad 21, yaitu rendahnya kapasitas dan kredibilitas negara untuk mengelola potensi dan kebutuhan angkatan muda dalam rangka menjamin kesejahteraan dan aspirasi mereka dalam setiap sektor kehidupan. Rendahnya kapasitas dan kredibilitas negara ini disebabkan di antaranya kapasitas dan kredibilitas politisi dan penyelenggara negara itu sendiri. Tendensi golongan penyelenggara negara untuk mempersempit akses angkatan muda kepada saluran-saluran ekonomi dan politik, di saat populasi angkatan muda ini makin membengkak dan makin well informed dan terdidik akibat berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi, secara jelas menimbulkan kerawanan ketegangan, ledakan dan bentrokan sosial politik. Angkatan muda yang sehari-hari berlimpah informasi terhadap situasi lingkungannya, tentu saja dilanda ketidakpuasan dan dendam amarah. Sebagian di antara angkatan ini dapat meredam ketidakpuasan mereka dengan mengalihkan kepada hiburan, mengalienasi diri dari keadaan, baik melalui kegiatan permainan online, offline, musik, nongkrong, atau menyimak siraman ruhani yang instan, tapi sebagian lagi tetap mencari jawaban terhadap keadaan yang melingkupi mereka.

Model yang kedua ini berkembang menjadi podcast-podcast dan lingkar studi dan aksi sosial yang potensial menjadi aksi politik riil. Model yang kedua ini mulai mempengaruhi dan memberi penyadaran aktif akan nasib angkatan muda di tengah nyaris buntunya saluran dan akomodasi kebijakan struktural bagi mereka. Dan gejala inilah yang secara tak terelakkan mulai mempapari kesadaran angkatan muda. Terlebih setelah kejadian bentrokan akhir Agustus 2025 yang direspons oleh administrasi Probowo secara positif dengan pemenuhan konsesi-konsesi yang dituntut angkatan muda, membuat angkatan muda ini makin percaya diri dan menemukan golongan dirinya tidak lagi perlu netral secara politik. Mereka pada akhirnya menemukan cara untuk mobilisasi kekuatan dan cara bagaimana menekan penyelenggara negara untuk memberikan konsesi politik pada golongan mereka.

*Demokratisasi Ekonomi*
Sebenarnya problem utamanya adalah tidak berjalannya demokratisasi ekonomi, halmana akses ekonomi pada angkatan muda demikian sempit akibat kebijakan struktural negara. Hal ini pun memiliki faktor yang kompleks yang saling berkelindan di antaranya, tidak tercegahnya monopoli sumber-sumber ekonomi dan politik oleh segelintir elit, praktek korupsi yang terus berkembang, nepotisme yang menyingkirkan meritokrasi dan fairness dalam dunia kerja dan karir, tendensi praktik mempertahankan kekuasaan oleh oligarki politik dan ekonomi seperti partai dan konglomerasi, jumlah pemilik suara yang tetap signifikan untuk pasrah menerima keadaan, sistem elektoral yang korup, transaksional dan busuk, dan hukum dan institusi yang tidak didesain untuk melancarkan demokratisasi ekonomi. Akibatnya sistem hirarki ekonomi, sosial dan politik mengangkangi angkatan muda yang resah dan bahkan frustrasi.

Ketika mereka tersadar, bahwa nasib yang menimpa mereka yang dibuat bagaikan dipenjara dalam suatu kandang raksasa imajiner oleh suatu kesengajaan politik dan sistem, timbullah kesadaran baru pada angkatan muda ini. Kata reset pun mencuat, menggambarkan tiada cara lain kecuali reset ke mode awal yang tidak dibajak oleh pihak lain.

Masalahnya tidak sesederhana analogi smartphone yang lemot dan sering hang akibat kebanyakan aplikasi dan terjangkit virus lalu di-reset. Ini adalah masalah buntunya keadaan yang dirasakan angkatan muda dalam ekonomi dan politik. Kebuntuan ini, tampaknya tidak terlalu sulit untuk dibuka, tatkala penyelenggara negara merasakan kepentingan yang sama agar negara tetap tumbuh dan makmur.

*Prospek Administrasi Prabowo*
Prabowo merupakan seorang figur yang memahami keadaan dibuktikan dengan respons kebijakannya yang mememuhi tuntutan sebagian apa yang diresahkan dan dituntun oleh angkatan muda. Masalahnya sekarang adalah bagaimana secara bottom up, berkelanjutan dan afirmatif menyerap gagasan dan tuntutan angkatan muda tersebut secara terinstitusionalisasi. Untuk hal itu, perlu dipikirkan lebih komprehensif dan memenuhi syarat-syarat ilmiah, bukan reaksioner. Sehingga tidak sekedar tambal sulam, peredaan sakit, dan memberi konsesi-konsesi saat tuntutan didesakkan secara keras.

Adapun salurannya mungkin dengan menampung konsepsi-konsepsi pembangunan komprehensif bagi angkatan muda menurut sudut pandang angkatan muda itu sendiri yang kemudian diadopsi oleh pemerintah. Sembari mengefektifkan kementerian pemuda dan olah raga, kementerian yang berkaitan dengan pendidikan, tenaga kerja, industri, kebudayaan dan lain-lain yang relevan bagi kehidupan angkatan muda, penting untuk serentak memecahkan masalah.

Jadi tidak sekedar didudukkan unsur angkatan muda dalam suatu institusi, tapi kehadirannya di tempat itu tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya. Wakil Presiden sebenarnya juga angkatan muda, tapi tidak mencerminkan representasi persoalan. Lebih tepat dirinya seperti ungkapan nepo baby, singkatan dari frasa bahasa Inggris nepotism baby (bayi nepotisme) kata sindiran dalam gen Z. Saya rasa kalau ada political will, hal itu tidak problematik. Ini hanya soal bagaimana angkatan muda tersalurkan potensinya, bakatnya, kompetensinya dan terjamin kesejahteraannya oleh negara dengan membentangkan kesempatan-kesempatan kerja, bisnis, dan reduksi sistematis angka pengangguran di kalangan angkatan muda.

 

Oleh: Bhre Wira, Pengamat Sosial

Facebook Comments Box