Darori Wonodipuro Nilai Pengelolaan Hutan Nasional Perlu Dibenahi
YOGYAKARTA – Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Darori Wonodipuro menilai perlu dilakukan pembenahan secara menyeluruh untuk mengelola kehutanan nasional melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Selama ini kita akui pengakuan atas tanah adat sangat sulit. Bahkan meski sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi, tetap saja prosesnya berbelit karena harus melalui Perda,” kata Darori saat berdiskusi di forum penjaringan pendapat bersama sivitas akademika Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta saat melakukan Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspek) Komisi IV DPR ke Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis (8/5/2025).
Pada kesempatan itu, Darori sempat menyoroti sejumlah persoalan terkait kebijakan kehutanan, mulai dari kelemahan dalam mekanisme penetapan hutan adat, alih fungsi kawasan yang tidak terkendali, hingga absennya sistem konservasi yang efektif.
“Ke depan, kita dorong agar ada tim terpadu yang meninjau langsung di lapangan dan hasilnya dilaporkan ke Komisi IV. DPR akan memberikan rekomendasi kepada Menteri agar izinnya bisa segera dikeluarkan,” terang Darori.
Dorori mengkritik tata kelola alih fungsi hutan yang dinilai melesat dari semangat konservasi di sejumlah daerah di Indonesia. Ia ingin persoalan kehutanan dibenahi.
“Sekarang sawit disita, tapi tetap jadi kebun sawit. Hutan yang disita harus dikembalikan ke fungsi hutannya. Harus ada pendekatan kreatif seperti sistem tanam campur, misalnya dua baris sawit satu baris tanaman merapi. Kalau konsisten, 30 tahun ke depan kita punya 3 juta hektare tanaman ranti,” ujarnya.
Lebih lanjut, Darori turut menyoroti ketimpangan dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa, terutama yang berada dalam kawasan Perhutani. Ia mendorong agar masyarakat sekitar yang jumlahnya mencapai 3.600 desa bisa dilibatkan secara lebih adil melalui skema perhutanan sosial.
“Kita usulkan pembagian hasil perhutanan sosial itu: 70 persen untuk rakyat, 20 persen untuk Perhutani sebagai pemilik kawasan, dan 10 persen untuk kas desa,” tegasnya.
Untuk itu, Darori mengungkapkan bahwa sebagian besar Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kini sudah tidak beroperasi. Hal ini menyebabkan ketimpangan lahan antara perkebunan besar dan masyarakat. Ia menyatakan bahwa pengelolaan kawasan hutan seharusnya tidak didominasi oleh kepentingan korporasi semata, tetapi harus memprioritaskan kesejahteraan rakyat.
Darori juga menyinggung pentingnya memperkuat ketentuan mengenai data inventarisasi hutan, termasuk penetapan tata batas kawasan yang masih belum konsisten di berbagai wilayah.
“Inventarisasi itu bukan hanya dari peta. Harus lihat langsung ke lapangan. Mana yang konservasi, mana yang produksi, dan mana yang sudah rusak. Kalau rakyat sudah bangun rumah di lahan selama bertahun-tahun, jangan tiba-tiba disalahkan karena datanya enggak akurat,” ujarnya.
Sehubungan dengan pendanaan, Darori mendorong agar RUU ini memuat skema pendanaan konservasi dan rehabilitasi hutan secara khusus. Menurutnya, perlu ada dana konservasi, seperti di Korea Selatan yang dulu hutannya rusak parah, namun kini berhasil dipulihkan dengan sistem pendanaan jangka panjang.
“Dana konservasi dan rehabilitasi harus dikelola terbuka, bisa digunakan oleh perguruan tinggi, LSM, dan bukan semata-mata pemerintah. Kementerian cukup membuat regulasinya,” ujarnya.
Alumni Fakultas Kehutanan UGM ini menyampaikan bahwa kunjungan Komisi IV kali ini bertujuan menyerap aspirasi dan masukan akademik yang berkualitas untuk menyempurnakan draf RUU Kehutanan.
“Undang-undang ini harus betul-betul terbuka. Kita kirim naskahnya ke perguruan tinggi dan pakar-pakar. Silakan dikoreksi sebelum disahkan. Jangan sampai nanti sudah jadi Undang-Undang (UU) malah digugat ke MK,” ujarnya.
Ia menyebut target jangka pendek Panja Komisi IV adalah menyelesaikan pembahasan RUU ini dalam masa sidang berikutnya, dengan substansi yang kuat, pro-rakyat, dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam jangka panjang, undang-undang ini diharapkan dapat memperbaiki sistem pengelolaan kehutanan secara berkelanjutan dan inklusif.
“Undang-undang ini harus mampu mewujudkan dua hal utama, yaitu hutan lestari dan rakyat sejahtera. Itu prinsip yang tidak boleh berubah,” pungkas Darori.