Fenomena Mahathir dan Kegagalan Reformasi di Indonesia

 Fenomena Mahathir dan Kegagalan Reformasi di Indonesia

Oleh: Musni Umar, Sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Lima belas tahun lalu setelah Mahathir Mohamad mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri Malaysa setelah  berkuasa 22 tahun, saya pernah menulis di media supaya Tun Mahathir Mohamad menjadi Presiden Republik Indonesia.

Saya tahu hal itu tidak mungkin, tetapi saya tetap tulis  judul itu sebagai sindiran karena bangsa Indonesia gagal memilih pemimpin yang diperlukan Indonesia untuk  membawa Indonesia bangkit dan maju.

Lima belas tahun kemudian dalam usia 92 tahun, Mahathir kembali menunjukkan kehebatannya dengan mendirikan Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) untuk menyaingi Partai UMNO (United Malay National Organization) dan atas dukungan Datuk Seri Anwar Ibrahim, Tun Mahathir  menjadi pemimpin oposisi dan sukses mengalahkan Barisan Nasional yang dipimpin Datuk Seri Najib Tun Razak.

Pada 9 Mei 2018 saat rakyat Malayia mau mengundi (memilih), saya menulis artikel yang diberi tajuk Malaysia Pemilu Siapa Pemenangnya?

Dalam tulisan itu, saya kemukakan bahwa Pakatan Rakyat (Harapan) yang dipimpin Tun Mahathir hanya bisa meraih kemenangan dalam Pemilu ke 14, kalau etnis Melayu Pribumi berhasil diyakinkan.

Nampaknya, fenomena Tun Mahathir dan Datuk  Seri Anwar Ibrahim yang bersatu dalam kubu oposisi telah mempengaruhi persepsi etnis Melayu Pribumi bahwa kemenangan barisan oposisi akan tetap memberi supremasi kepada mereka, sehingga berani  memilih para calon anggota parlemen dari partai-partai yang berhimpun di Pakatan Harapan.

Pada hal menjelang Pemilu,  hampir semua lembaga survei di Malaysia mengemukakan bahwa Barisan Nasional (BN) yang dipimpin Datuk Seri Najib Tun Razak akan memenangkan Pemilu ke 14 Malaysia.

Kegagalan Reformasi di Indonesia

Bangsa Indonesia telah melaksanakan reformasi tahun 1998.    Pada 21 Mei 2018 usia Orde Reformasi di Indonesia sudah 20 tahun.

Pada saat Reformasi 20 tahun lalu, isu sentral yang digaungkan mahasiswa ialah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).  Untuk menghentikan KKN di Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan pentingnya pemerintahan yang bebas dari KKN.

Untuk memastikan bahwa tidak ada lagi KKN di Indonesia, maka Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membuat undang-undang yang menjadi dasar lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Akan tetapi, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin merajalela di Indonesia.  Lebih dari 300 Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia masuk penjara akibat korupsi.  Bahkan lebih miris lagi mantan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditetapkan sebagai tersangka korupsi.   Selain itu, Ketua DPR RI telah diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman 15 tahun penjara.

Oleh karena itu, sebagai sosiolog dan aktivis 77/78 yang pernah dipenjara karena melawan rezim Orde Baru merasa sangat prihatin dan memastikan bahwa Reformasi di Indonesia sudah gagal.

Apakah kegagalan Orde Reformasi di Indonesia akan menghadirkan bergantian rezim di Indonesia dalam Pemilu 2019 seperti di Malaysia?

Allahu a’lam bisshawab

Berita Terkait